radarmiliter.com - Elemen tanah jarang atau sering disebut dengan rare earth element (REE) kini menjadi sorotan usai pertemuan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Pertahanan Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto Djojohadikusumo bertemu membahas penggunaan elemen itu untuk industri persenjataan.
REE merupakan 17 unsur logam yang masuk ke dalam kategori lanthanida. REE banyak digunakan untuk industri teknologi tinggi mulai dari pembuatan magnet permanen, baterai hingga komponen kendaraan listrik.
![]() |
Rare Earth |
Saat ini, China masih mendominasi produksi REE global dengan total output mencapai 132 ribu metrik ton tahun lalu. China sudah mulai memproduksi REE sejak tahun 1990.
Kala itu pemerintah China mendeklarasikan REE sebagai mineral strategis yang harus dilindungi. Konsekuensinya perusahaan tambang asing dilarang menambang atau berpartisipasi dalam pemrosesan REE kecuali bekerja sama (joint venture) dengan perusahaan China.
Selain China sebenarnya ada negara di Asia Pasifik lain yang juga memproduksi REE seperti Australia, India, Thailand, Vietnam. Australia sebagai salah satu produsen terbesar global bahkan telah membangun fasilitas ekstraksi dengan kapasitas mencapai 22 ribu ton untuk material yang dikirim dari Mount Weld, Western Australia.
Indonesia sebenarnya sudah berencana untuk mengembangkan industri berbasis REE sejak lama. Road map juga sudah dibuat. Mengingat REE biasanya berupa elemen ikutan barang tambang seperti emas dan timah, maka PT Timah Tbk awsNF mengembangkan fasilitas produksi.
Menurut kajian Pusat Sumber Daya Mineral dan Panas Bumi, Badan Geologi, Kementerian ESDM, REE di Indonesia ditemukan di Sumatera, Jawa hingga Kalimantan. REE banyak ditemukan di mineral monazit, zirkon dan xenotim.
Saat ini PT Timah Tbk dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) masih dalam tahap mengkaji berbagai hal terkait dengan REE termasuk nilai keekonomian proyek. Artinya Indonesia masih berada di tahap awal pengembangan industri ini.
Mimpi Indonesia untuk ikut menjadi pemain dalam produksi REE global harus dipersiapkan. Pengelolaan REE harus dilakukan dengan baik dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan sumber daya, pemrosesan, disposal dan kebijakan serta payung hukum yang jelas.
Untuk bisa memproduksi dalam skala besar aktivitas eksplorasi dan eksploitasi harus di lakukan. Selain itu Indonesia juga perlu fokus memikirkan langkah selanjutnya setelah diproduksi agar memiliki nilai tambah.
Untuk itu, Indonesia juga perlu membuat peta jalan (road map) yang jelas untuk mengembangkan industri berbasis REE mulai dari hulu hingga ke hilir, tentu dengan mempertimbangkan feasibilitas serta dampak ekonomi yang akan didapatkan di masa mendatang.
Untuk saat ini, Indonesia masih memiliki segudang pekerjaan rumah untuk menggarap proyek REE termasuk di dalamnya adalah menarik investasi dan membuat kebijakan pengelolaan REE. (Aristya Rahadian)
Sumber : cnbcindonesia.com